Menemukan Makna Hidup di Antara Sunyi

Charles Bennett By Charles Bennett October 7, 2025
Sunyi yang Mengajarkan Pulang – Puisi Kehidupan
0 0
Read Time:2 Minute, 43 Second

Sunyi yang Mengajarkan Pulang

1. Mencari Makna di Tengah Hiruk Pikuk

Kadang-kadang, hidup terasa seperti jalan panjang yang tak selesai-selesai. Kita mengejar target, menumpuk rencana, serta menyusun daftar mimpi yang kian bertambah. Lalu, tanpa sadar, sesuatu dalam dada meminta jeda. Di sela hiruk pikuk, ada ruang kecil yang memanggil pulang. Ruang itu sederhana: sebuah napas yang ditarik perlahan, segelas air hangat di sore hari, atau senyum yang tak sempat kita hadiahkan pada cermin. Di sanalah makna hidup kerap menyelinap—bukan pada pesta gemerlap, melainkan pada momen biasa yang tulus.

Namun, tidak mudah menerima sunyi. Kita sering mengisinya dengan suara lain: notifikasi, percakapan singkat, dan ambisi baru. Mungkin, hari ini berbeda. Kita duduk sebentar, menoleh ke dalam, lalu bertanya: apa yang sebenarnya dicari? Dari pertanyaan sederhana itu, perjalanan dimulai.


2. Puisi: Ketika Sunyi Menyapa

Di tepi hari yang perlahan memudar,
aku menaruh lelah di atas meja kayu,
kupeluk senja seperti sahabat lama,
kubiarkan lampu temaram berbicara pelan.

“Pulanglah,” katanya, “bukan ke rumah orang,
melainkan ke ruang yang pernah kau lupakan.”
Ruang yang menyimpan tawa kecil,
doa tanpa babak, dan langkah tanpa peta.

Aku mengingat pagi yang pernah jernih,
ketika roti hangat dan wangi kopi
cukup menjadi alasan untuk bersyukur.
Betapa sederhana kebahagiaan waktu itu.

Lalu datang hari yang berisik,
agenda melompat seperti kuda liar,
jam menunduk dalam kelelahan,
sementara aku berpura-pura kuat.

Di keramaian, aku mencari jawaban,
tetapi yang kutemukan hanya cermin
berlapis debu, lupa cara memantulkan cahaya.
Aku hampir percaya, inikah akhir cerita?


3. Belajar dari Kesunyian

Sunyi mengetuk perlahan.
Ia tidak memaksa, hanya menunggu.
Kududukkan diri di sampingnya,
kubiarkan hatiku belajar mendengar.

Di sana, kusimak riuh yang tak perlu,
kusaring kata-kata yang melukai,
kukembalikan beban yang bukan milikku.
Bahkan duka pun kuberi tempat yang wajar.

“Terima kasih,” kataku pada luka,
“kau menuntunku memahami arah.”
Dari retak-retak paling tipis,
tumbuh cahaya yang jernih dan hangat.

Aku belajar merawat hal-hal kecil:
membuka jendela sebelum matahari tinggi,
menyapu halaman pikiran dari prasangka,
menyiram benih harapan di pot yang retak.

Tak semua mimpi mesti dikejar hari ini;
sebagian cukup dipanggil namanya,
agar ia tahu kita tak melupakannya.
Sisanya, serahkan pada waktu yang bijak.


4. Menemukan Pulang dan Diri Sendiri

Ketika malam datang tanpa drama,
aku duduk dengan buku tipis dan doa pendek.
Ternyata, sederhana itu tidak miskin;
ia adalah kekayaan yang lama tersimpan.

Pulang bukan berarti mundur;
pulang adalah pulih—
menyambungkan diri pada sumber air,
yang memandu langkah tanpa berteriak.

Kini aku berjalan lebih pelan,
menyapa jalanan yang pernah kulewati.
Kupungut serpihan diriku di setiap tikungan,
kususun menjadi kompas baru.

Jika esok menantang lagi,
aku telah punya tempat kembali:
ruang hening yang menyalakan api,
menjaga hati dari angin yang tajam.

Dan bila seseorang bertanya,
di manakah makna hidup bersembunyi?
Akan kujawab, “Di sini, di sela napas,
di antara terima kasih dan maaf yang tulus.”


5. Penutup: Sunyi yang Menyembuhkan

Hidup jarang memberi petunjuk lengkap. Kita belajar melalui singgahan dan kesalahan, lalu merapikan langkah agar lebih jujur. Pada akhirnya, makna hidup hadir saat kita menepati janji kecil pada diri: beristirahat ketika penat, tersenyum walau tertahan, dan tetap menyirami harapan meski tanahnya retak. Dengan cara itu, sunyi tidak lagi menakutkan. Ia menjadi sahabat yang mengingatkan jalan pulang. Dan pulang, setenang apa pun rupanya, selalu cukup untuk memulai lagi—lebih tulus, lebih ringan, serta lebih manusiawi.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %